
Sistem pemasaran berjenjang atau Multi Level Marketing (MLM) sedang
menjadi sorotan sebagai salah satu pemutar roda ekonomi di Indonesia.
Bicara tentang network marketing, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
(PLBS).
Bisnis MLM merupakan salah satu bisnis modern yang tidak ada di
zaman Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itulah terdapat banyak perbedaan
pendapat mengenai
hukum bisnis MLM. Ada yang menghalalkan, ada yang mengharamkan MLM
secara keseluruhan. Ada juga pendapat yang mengatakan halal atau haram,
bergantung pada
sistem yang diterapkan dalam MLM tersebut.
Pendapat ketiga ini sepertinya pendapat yang lebih tepat, karena
dalam prakteknya dari sekitar 600 perusahaan MLM yang terdapat di
Indonesia, masing-masing
menerapkan sistem yang berbeda. Ada sistem binary, breakaway, unilevel, v iral marketing,
skema ponzi, dan sebagainya. Dari seluruh MLM yang ada, 66 di antaranya
sudah resmi terdaftar di Asosiasi
Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Dari jumlah tersebut hanya 6
yang sudah mendapat Sertifikat Syariah dari MUI, satu di antaranya
adalah K-LINK.
Perbedaan pendapat mengenai hukum MLM ini semakin tajam dengan adanya kerancuan istilah antara MLM dengan money game di kalangan
masyarakat. Pemasaran berjenjang pada hakikatnya adalah sebuah
sistem distribusi barang. Banyaknya bonus didapat dari omset penjualan
yang didistribusikan
melalui jaringannya.
Sedangkan money game menurut fatwa DSN MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009 adalahkegiatan
penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik
memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/pendafta ran mitra u
saha yang baru/bergabung kemudian, dan bukan dari hasil
penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang
dijual tersebut hanya
kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas
yang
dapat dipertanggungjawabkan
.
Fatwa Ulama tentang MLM
Dr. Setiawan Budi Utomo dalam tulisannya di laman dakwatuna.com menyatakan :
The Islamic Food and Nutrition of America
(IFANCA) telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan
dibenarkan oleh agama yang ditandatangani langsung oleh Presiden IFANCA
M. Munir Chaudry,
Ph.D. IFANCA mengingatkan untuk meneliti kehalalan suatu bisnis MLM
sebelum bergabung atau menggunakannya dengan mengkaji aspek :
1. Marketing Plan
.
Adakah unsur skema piramida? Unsur piramida memungkinkan
distributor yang lebih dulu bergabung selalu diuntungkan dengan
mengurangi hak distributor di
bawahnya sehingga merugikan downline dan hukumnya haram.
2. Track Record.
Apakah perusahaan MLM tersebut memiliki track record positif atau tiba-tiba muncul, terutama jika mengundang banyak kontroversi.
3. Produk.
Apakah produknya mengandung zat-zat haram? Apakah mendapatkan jaminan untuk ditukar apabila produk cacat produksi.
4. Investasi Berlebihan
.
Apabila perusahaan menekankan target penghimpunan dana dan
menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, terutama
jika modal awal
seperti uang pendaftarannya cukup besar. Ini patut dicurigai
sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
5. Sistem Kerja.
Telitilah skema kerja sebagai distributor terutama jika perusahaan MLM tersebut menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI) sebagai lembaga resmi yang diakui pemerintah RI dan melibatkan
ulama dari berbagai
Ormas Islam telah mengeluarkan fatwa yang dapat dijadikan sebagai
salah satu referensi untuk menentukan halal haramnya sebuah perusahaan
yang bergerak
dalam bisnis MLM.
Dalam fatwa yang ditandatangani oleh Ketua DSN MUI DR. KH. Sahal
Mahfudz dan Sekretaris KH. Drs. Ichwan Sam pada tanggal 25 Juli 2009,
dijelaskan ada 12
persyaratan bagi MLM terkategori sesuai syariah, yaitu :
1. Ada obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;
2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang
diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
3. Transaksi dalam perdagangan tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba’, dharar, dzulm, maksiat;
4. Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas;
5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, besaran
maupun bentuknya harus berdasarkan prestasi kerja yang terkait langsung
dengan volume atau
nilai hasil penjualan produk, dan harus menjadi pendapatan utama
mitra usaha dalam PLBS;
6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota harus jelas
jumlahnya, saat transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang
dan atau produk
jasa yang ditetapkan perusahaan;
7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh
secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan
atau jasa;
8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
9. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;
10. Sistem perekrutan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang
dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah,
syariah dan akhlak
mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan sebagainya;
11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan wajib membina dan mengawasi anggota yang direkrutnya;
12.Tidak melakukan kegiatan money game.
Demikianlah fatwa ulama mengenai MLM, semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. (HM. Sofwan Jauhari Lc, M. Ag.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar